- Beranda
- Berita
Tanggal publikasi : 10-10-2022
PBFD pertama kali ditemukan tahun 1970-an pada kakatua yang memiliki kelainan pada paruh dan bulu (kebanyakan di fase burung remaja). Tingkat kematian akibat penyakit PBFD cukup tinggi baik pada burung di alam maupun penangkaran. Penyakit ini menyebabkan long-term immunological suppression, dan kecacatan fisik tubuh (bulu, kuku dan paruh). Adanya tanda kerontokan bulu dapat menjadi tanda suspek PBFD, namun hal ini perlu dipastikan dengan pengambilan sampel darah.
PBFD dapat disebarkan melalui food sharing saat burung saling meloloh, sekresi feses basah maupun kering dan partikel bulu/kulit. Penularan tidak langsung dapat melalui peralatan makan, lingkungan, material sarang, alat pemeliharan, pakan dan media lainnya. Virus ini mampu bertahan pada lingkungan dan sarang hingga bertahun-tahun. Masa inkubasi penyakit PBFD mencapai 3-4 minggu hingga tahunan. Sebagian kasus PBFD ditemukan pada burung berumur 2 tahun.
Diagnosis PBFD dapat dilakukan melalui PCR, swab dan pengujian sampel bulu. Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui isolasi ketat dan uji DNA pada spesies yang rawan terinfeksi. Perawatan berkala dapat dilakukan melalui pemotongan kuku dan paruh, kontrol dan pengecekan abses bulu, kontrol breeding, peningkatan animal welfare (memberikan tenggeran yang tepat, rute naik turun atau dengan memberikan alat tambahan untuk menghangatkan badan) serta pemberian nutrisi yang baik dan vitamin. Vaksin PBFD masih dalam proses pengembangan. Hingga saat ini, belum diketahui perawatan yang paling tepat untuk penanganan penyakit ini. Jalan akhir untuk penanganan penyakit PBFD adalah dengan memutus rantai penyakit melalui euthanasia dengan prosedur yang legal.
Tanggal publikasi : 16-08-2021
Penyakit Nipah pertama kali muncul di Malaysia pada tahun 1998. Penyakit ini menyebabkan wabah respirasi pada babi, yang kemudian menyerang manusia. Selain Malaysia, telah terdeteksi adanya antibodi dan virus Nipah pada Pteropus sp. di beberapa negara di Asia. Di Bangladesh dan India, penyakit Nipah telah menyebabkan kematian pada manusia.
Periode inkubasi virus Nipah mencapai 4-14 hari bahkan pernah dilaporkan mencapai 45 hari. Seseorang yang terinfeksi virus Nipah dapat mengalami gejala-gejala seperti batuk, sakit tenggorokan, meriang dan lesu, dan ensefalitis, pembengkakan otak yang dapat menyebabkan kejang-kejang dan kematian.
Cara penularan virus Nipah kepada manusia yakni melalui makanan yang terkontaminasi maupun kontak dengan kelelawar maupun babi tanpa menggunakan pelindung. Berdasarkan laporan di Bangladesh dan India, cara penularan virus Nipah yakni melalui konsumsi buah maupun produk olahan buah yang terkontaminasi dengan urin maupun air liur kelelawar yang terinfeksi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, virus Nipah sempat mewabah di beberapa negara Asia. Sejauh ini, virus nipah telah menginfeksi 477 orang dan membunuh 252 orang sejak pertama kali ditemukan di tahun 1998. Menurut Sendow et al. (2008), secara serologis babi di Indonesia masih bebas dari infeksi Nipah. Di Sumatera Utara, virus Nipah telah terdeteksi pada urin dan swab saliva kalong Pteropus vampyrus menggunakan RT-PCR, yang kemudian dikonfirmasi dengan sekuensing. Hasil penelitian ini merupakan temuan kasus pertama di Indonesia dan menjadi kewaspadaan dalam pengelolaan peternakan di perbatasan Sumatera Utara-Malaysia.
Infeksi virus nipah perlu diwaspadai mengingat penyebaran virus antara hewan ke manusia atau antar manusia dapat terkadi melalui makanan yang terkontaminasi atau kontak langsung. Upaya pencegahan penularan virus nipah dapat dilakukan melalui pengurangan akses atau kontak dengan kelelawar misalnya dari nira dan produk pangan segar. Risiko dapat pula dikurangi dengan tidak mengkonsumsi buah dengan tanda gigitan kelelawar, mencuci bersih/mengupas buah sebelum dikonsumsi, menggunakan sarung tangan atau alat pelindung diri saat menangani satwa sakit, menyembelih dan melakukan pemusnahan satwa terinfeksi, sebisa mungkin menghindari kontak dengan satwa yang terinfeksi dan mencuci tangan secara teratur saat merawat atau mengunjungi orang yang sakit.
Tanggal publikasi : 05-03-2021
Penyebaran dan penularan ASF dapat terjadi secara langsung (melalui kontak fisik dengan babi yang terinfeksi ASF) maupun secara tidak langsung. Penularan secara tidak langsung dapat terjadi melalui saluran pencernaan (konsumsi sampah sisa makanan dan bangkai), melalui urin, lendir dan feses, melalui darah (bekas luka pertarungan), melalui gigitan caplak lunak Ornithodoros (O. erraticus dan O. moubata) ataupun melalui kontak dengan benda yang tercemar ASFV (pakaian, sepatu, kendaraan, alat peternakan, kandang dan lainnya). Penularan virus dari babi liar ke babi domestik atau sebaliknya dimungkinkan terjadi melalui sisa pembuangan bangkai, sisa makanan tercemar ASFV, dibawa oleh caplak lunak maupun melalui interaksi pemburu di hutan dengan peternakan babi domestik. Jalur penularan lain dapat dimungkinkan apalagi karena keduanya memiliki karakter dan ruang hidup yang hampir sama (utamanya pada babi domestik yang tidak dikandangkan). Caplak lunak pada babi liar atau babi hutan memegang peran penting dalam penularan virus ini (reservior dan vektor biologi ASFV) utamanya melalui liang pada peternakan maupun dibawa ke desa melalui babi hutan buruan.
Gejala pada babi yang terinfeksi ASF antara lain demam tinggi, kehilangan nafsu makan, depresi, muntah, diare, abortus (keguguran), radang sendi, pendarahan pada kulut dan organ dalam serta perubahan warna kulit menjadi ungu. Terkadang kematian dapat terjadi bahkan sebelum gejala-gejala ini muncul. Jenis babi hutan (Phacochoerus africanus dan P. aethiopicus), babi semak (Potamochoerus porcus dan P. larvatus), dan babi hutan raksasa (Hylochoerus meinertzhagen) kebanyakan tidak menunjukan gejala klinis saat terinfeksi, namun beberapa jenis babi di atas cenderung lebih berperan sebagai reservoir virus. Penyakit ASF tidak berbahaya bagi manusia karena bersifat non-zoonosis (tidak menular kepada manusia). Walau demikian, ancaman kematian babi akibat penularan virus ini mencapai 100%. Hal ini telah menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar pada sektor peternakan babi di dunia. ASF muncul pertama kali di Kenya, Afrika Timur pada tahun 1909 setelah adanya impor babi domestik dari Eropa. Pada tahun 1957, ASF menyebar ke Portugal dan berbagai negara di Eropa (Italia, 1967; Spanyol 1969; Perancis 1977; Malta, 1978; Belgia, 1985; dan Belanda, 1986). Kemudian ASF meluas ke Karibia (Kuba, 1971 dan 1980; Republik Dominika, 1978; serta Haiti, 1979) dan Brasil (1978). Di Asia, ASFV ditemukan pada babi liar di Iran pada tahun 2010. Lalu pada tahun 2018, Tiongkok melaporkan adanya wabah ASF di Provinsi Liaoning.
Di Eropa Timur, Sardinia, Kaukasus dan beberapa negara anggota Uni Eropa, keberadaan populasi babi hutan memainkan peran penting dalam penyebaran virus ASF. Daerah dengan populasi babi yang dibiarkan berkeliaran bebas atau memiliki biosecurity yang rendah, berpeluang lebih besar dalam penularan virus ini. Selain itu, transportasi babi hutan hasil buruan ke peternakan juga mengambil peran penting di dalamnya. Di kawasan Afrika Selatan (Botswana, Malawi, Mozambik, Namibia, Zambia, Zimbabwe dan bagian timur laut Afrika Selatan), keberadaan babi hutan juga berperan penting dalam penyebaran virus ASF. Di Malawi dan Mozambik, keberadaan babi hutan dan kutunya telah terbukti menularkan ASF. Pada tahun 2015, wabah ASF di Zimbabwe pertama kali dilaporkan berasal dari babi hutan hasil buruan. Begitu pula di berbagai kawasan peternakan lain dengan biosecurity yang rendah. Di Polandia dan Baltik, babi hutan diyakini sebagai reservior utama dari virus ASF.
Pada Februari 2019, untuk pertama kalinya ASF dikonfirmasi di kawasan Asia Tenggara, yaitu di Vietnam. Selanjutnya, infeksi ASF meluas hingga ke Kamboja, Laos, Filipina, Myanmar dan Timor Leste. Pada Desember 2019, terdapat tujuh negara di Asia Tenggara yang telah mengkonfirmasi adanya kasus ASF termasuk Indonesia. Kasus ASF di Indonesia diumumkan secara resmi melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019 tentang Pernyataan Wabah Penyakit Demam Babi Afrika (African Swine Fever) pada Beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Jumlah kematian babi pada wabah ini mencapai 47.559 ekor dari total 1.277.741 ekor babi di Sumatera Utara (3,7%). Virus ASF juga dikonfirmasi telah menyebar ke 21 dari 33 kabupaten di Sumatera Utara (64%). Daerah dengan populasi dan lalu lintas babi yang tinggi memiliki risiko yang tinggi pula dalam penularan virus ini. Beberapa daerah di Indonesia yang rawan menjadi daerah penularan tersebut antara lain NTT, Papua, Sulawesi Selatan, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Sulawesi Tengah dan Jawa Tengah.
Sampai saat ini, belum ditemukan vaksin yang sesuai untuk mengatasi dan mencegah penyebaran penyakit ASF. Walaupun demikian, penyebaran virus ASF dapat ditekan dengan melakukan upaya pencegahan dan pengendalian sebagai berikut:
- Penerapan Biosecurity dalam lingkup Peternakan. Biosecurity merupakan serangkaian kegiatan yang dirancang untuk mencegah masuk atau menyebarnya penyakit dari luar ke dalam peternakan. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui pencegahan kontak langsung antara babi yang sehat dan sakit (isolasi), kegiatan karantina babi impor sebelum disatukan dalam kandang, menjamin keamanan pakan babi, selalu menjaga sanitasi kandang dan sarang caplak, segera memusnahkan babi yang mati akibat penyakit ASF, melakukan vaksinasi untuk menjaga kesehatan babi secara teratur, membatasi orang yang masuk dalam peternakan, selalu mencuci tangan dan membersihkan alas kaki dengan desinfektan sebelum memasuki kandang serta menerapkan pengawasan yang ketat dan intensif.
- Pengendalian perbatasan. Pembatasan pergerakan babi hutan dan vektor alami virus ASF merupakan hal yang sulit dilakukan, salah satu cara paling efektif yang dapat dilakukan adalah dengan menutup akses dan melindungi peternakan dari satwa liar. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun pagar pembatas. Pagar ini berfungsi untuk menutup akses kontak langsung antara babi liar dengan babi domestik, menutup akses pembuangan sisa makanan, sampah dan bangkai yang terkontaminasi. Pagar pembatas dirancang dengan tinggi 1,8 meter dengan tambahan 50 cm masuk ke dalam tanah untuk mencegah terbukanya akses melalui penggalian tanah oleh babi. Cara ini mungkin saja sulit diterapkan oleh peternak skala kecil karena keterbatasan dana. Kegiatan lain seperti perburuan terkontrol, pemberian pakan tambahan bagi babi hutan, pembangunan zona kontrol, hingga penerapan biosecurity bagi pemburu mungkin saja dapat diterapkan dengan pertimbangan trade-off dari masing-masing opsi.
- Peningkatan kesadaran akan ancaman penyakit ASF. Peningkatan kesadaran akan pentingnya keamanan hayati sejalan dengan adanya respon cepat terhadap laporan kasus ASF merupakan suatu upaya deteksi dini terbaik mengingat sulitnya melakukan pembatasan pergerakan babi hutan. Melalui penyediaan informasi, bantuan teknis dan pelatihan, semua pemangku kepentingan dapat memahami perannya dan berkolaborasi secara lintas sektoral untuk mencegah, mengendalikan dan mengawasi penyebaran ASF di Indonesia. Melalui kolaborasi ini, laporan kasus ASF akan lebih cepat direspon. Pendampingan kepada pemburu, peternak, individu hingga akses cepat untuk berkomunikasi dengan dokter hewan dan pemangku kepentingan lain akan sangat membantu dalam penanganan kasus ini.
Sumber:
Beltrán-Alcrudo, D., Arias, M., Gallardo, C., Kramer, S. dan Penrith, M.L. 2017. African Swine Fever: Detection and Diagnosis – A Manual for Veterinarians. FAO Animal Production and Health Manual No. 19. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). Rome.
Winarso, A., Nur H. dan Siti R. 2019. Ancaman African Swine Fever Masuk ke Wilayah Indonesia melalui Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional VII Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Nusa Cendana Swiss Bel-inn Kristal. Kupang.
Website:
disnak.nttprov.go.id
disnakkeswan.jatengprov.go.id
distanpangan.baliprov.go.id