• Login
logo logo logo
  • Beranda
  • Berita
  • Tentang SehatSatli

Beranda

LAYOUT

  • Theme Style
  • Layout
  • Top Menu Style
  • Top Menu Mode
  • Mega Menu Style
  • Mega Menu Mode
  • Beranda
SehatSatli adalah sistem informasi kesehatan satwa liar di Indonesia yang dikelola oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sistem ini mengumpulkan data dari petugas lapangan yang dikirimkan dalam bentuk SMS dan pelaporan tertulis. Adapun hasil pengumpulan data tersebut dapat segera disajikan bagi para pemangku kepentingan untuk pengambilan keputusan terkait kesehatan satwa liar dengan memanfaatkan data yang sudah diolah menjadi sajian informasi yang bermakna. Data kesehatan satwa liar yang dikumpulkan mencakup daerah In-Situ dan Eks-Situ yang berada di dalam koordinasi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan khususnya pada Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati.

Sejak diperkenalkan pada Maret 2017, saat ini, sistem ini sedang diujicoba di daerah pilot. Jika Anda memiliki kritik dan saran untuk peningkatan kualitas informasi yang dikelola dalam aplikasi SehatSatli ini, dapat menghubungi pengelola SehatSatli tingkat Pusat melalui email sehatsatli@gmail.com

Pencegahan dan Penanganan Psittacine Beak and Feather Disease (PBFD) pada Burung Paruh Bengkok

10-10-2022
Ancaman penyakit pada burung paruh bengkok semakin tinggi akibat meluasnya perdagangan lintas batas. Perdagangan ini berpotensi membawa bibit penyakit (melalui kotoran, bulu atau sekresi) ke wilayah lain. Salah satu penyakit yang cukup berbahaya dan telah menyerang burung paruh bengkok di Indonesia adalah Psittacine Beak and Feather Disease (PBFD). PBFD merupakan penyakit non zoonotik yang disebabkan oleh Psittacine circovirus. Virus ini dapat menyerang organ vital burung paruh bengkok diantaranya hati, otak hingga sistem imun. Ciri utama burung terinfeksi virus ini adalah kerusakan bulu kepala (area yang tidak dapat dijangkau oleh burung) dan abnormalitas kaki dan paruh.

PBFD pertama kali ditemukan tahun 1970-an pada kakatua yang memiliki kelainan pada paruh dan bulu (kebanyakan di fase burung remaja). Tingkat kematian akibat penyakit PBFD cukup tinggi baik pada burung di alam maupun penangkaran. Penyakit ini menyebabkan long-term immunological suppression, dan kecacatan fisik tubuh (bulu, kuku dan paruh). Adanya tanda kerontokan bulu dapat menjadi tanda suspek PBFD, namun hal ini perlu dipastikan dengan pengambilan sampel darah.


PBFD dapat disebarkan melalui food sharing saat burung saling meloloh, sekresi feses basah maupun kering dan partikel bulu/kulit.
Penularan tidak langsung dapat melalui peralatan makan, lingkungan, material sarang, peralatan, pakan dan media lainnya. Virus ini mampu bertahan pada lingkungan, sarang hingga tahunan. Masa inkubasi penyakit PBFD mencapai 3-4 minggu hingga tahunan. Sebagian kasus ditemukan pada burung umur 2 tahun.

Diagnosis PBFD dapat dilakukan melalui PCR, swab dan pengujian sampel bulu. Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui isolasi ketat dan uji DNA pada spesies yang rawan terinfeksi. Perawatan berkala dapat dilakukan melalui pemotongan kuku dan paruh, kontrol dan pengecekan abses bulu, kontrol breeding, peningkatan animal welfare (memberikan tenggeran yang tepat, rute naik turun atau dengan memberikan alat tambahan untuk menghangatkan badan) serta pemberian nutrisi yang baik dan vitamin. Saat ini vaksin sedang dikembangkan, namun hingga kini belum diketahui perawatan yang paling tepat untuk penyakit ini. Jalan akhir untuk penanganan penyakit PBFD adalah dengan memutus rantai penyakit melalui euthanasia dengan prosedur yang legal.
Baca..

Potensi Penyebaran Penyakit African Swine Fever (ASF) di Indonesia

05-03-2021
African Swine Fever (ASF) merupakan penyakit pada babi yang disebabkan oleh virus ASF (ASFV) dari famili Asfarviridae. Penyakit ini menimbulkan berbagai pendarahan organ internal pada babi domestik maupun babi hutan. ASF sangat menular dengan angka kematian yang sangat tinggi. Belum ada vaksin atau pengobatan efektif untuk penyakit ini. Babi yang sembuh dari infeksi akan bertindak sebagai carrier (agen pembawa virus) dalam darah dan jaringan tubuhnya. ASFV sangat tahan terhadap perubahan lingkungan, stabil pada pH 4-13 dan dapat bertahan hidup dalam darah (18 bulan), daging dingin (15 minggu) dan daging beku (selama beberapa tahun) serta dapat bertahan hingga 1 bulan dalam kandang babi. ASFV dapat menyerang babi dari semua ras dan semua umur, walau babi domestik (peliharaan) menjadi jenis yang paling peka terhadap penyakit ASF.

Penyebaran dan penularan ASF dapat terjadi secara langsung (melalui kontak fisik dengan babi yang terinfeksi ASF) maupun secara tidak langsung. Penularan secara tidak langsung dapat terjadi melalui saluran pencernaan (konsumsi sampah sisa makanan dan bangkai), melalui urin, lendir dan feses, melalui darah (bekas luka pertarungan), melalui gigitan caplak lunak  Ornithodoros (O. erraticus dan O. moubata) ataupun melalui kontak dengan benda yang tercemar ASFV (pakaian, sepatu, kendaraan, alat peternakan, kandang dan lainnya). Penularan virus dari babi liar ke babi domestik atau sebaliknya dimungkinkan terjadi melalui sisa pembuangan bangkai, sisa makanan tercemar ASFV, dibawa oleh caplak lunak maupun melalui interaksi pemburu di hutan dengan peternakan babi domestik. Jalur penularan lain dapat dimungkinkan apalagi karena keduanya memiliki karakter dan ruang hidup yang hampir sama (utamanya pada babi domestik yang tidak dikandangkan). Caplak lunak pada babi liar atau babi hutan memegang peran penting dalam penularan virus ini (reservior dan vektor biologi ASFV) utamanya melalui liang pada peternakan maupun dibawa ke desa melalui babi hutan buruan.

Gejala pada babi yang terinfeksi ASF antara lain demam tinggi, kehilangan nafsu makan, depresi, muntah, diare, abortus (keguguran), radang sendi, pendarahan pada kulut dan organ dalam serta perubahan warna kulit menjadi ungu. Terkadang kematian dapat terjadi bahkan sebelum gejala-gejala ini muncul. Jenis babi hutan (Phacochoerus africanus dan P. aethiopicus), babi semak (Potamochoerus porcus dan P. larvatus), dan babi hutan raksasa (Hylochoerus meinertzhagen) kebanyakan tidak menunjukan gejala klinis saat terinfeksi, namun beberapa jenis babi di atas cenderung lebih berperan sebagai reservoir virus.
Penyakit ASF tidak berbahaya bagi manusia karena bersifat non-zoonosis (tidak menular kepada manusia). Walau demikian, ancaman kematian babi akibat penularan virus ini mencapai 100%. Hal ini telah menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar pada sektor peternakan babi di dunia. ASF muncul pertama kali di Kenya, Afrika Timur pada tahun 1909 setelah adanya impor babi domestik dari Eropa. Pada tahun 1957, ASF menyebar ke Portugal dan berbagai negara di Eropa (Italia, 1967; Spanyol 1969; Perancis 1977; Malta, 1978; Belgia, 1985; dan Belanda, 1986). Kemudian ASF meluas ke Karibia (Kuba, 1971 dan 1980; Republik Dominika, 1978; serta Haiti, 1979) dan Brasil (1978).  Di Asia, ASFV ditemukan pada babi liar di Iran pada tahun 2010.  Lalu pada tahun 2018, Tiongkok melaporkan adanya wabah ASF di Provinsi Liaoning.

Di Eropa Timur, Sardinia, Kaukasus dan beberapa negara anggota Uni Eropa, keberadaan populasi babi hutan memainkan peran penting dalam penyebaran virus ASF. Daerah dengan populasi babi yang dibiarkan berkeliaran bebas atau memiliki  biosecurity yang rendah, berpeluang lebih besar dalam penularan virus ini. Selain itu, transportasi babi hutan hasil buruan ke peternakan juga mengambil peran penting di dalamnya. Di kawasan Afrika Selatan (Botswana, Malawi, Mozambik, Namibia, Zambia, Zimbabwe dan bagian timur laut Afrika Selatan), keberadaan babi hutan juga berperan penting dalam penyebaran virus ASF. Di Malawi dan Mozambik, keberadaan babi hutan dan kutunya telah terbukti menularkan ASF. Pada tahun 2015, wabah ASF di Zimbabwe pertama kali dilaporkan berasal dari babi hutan hasil buruan. Begitu pula di berbagai kawasan peternakan lain dengan biosecurity yang rendah. Di Polandia dan Baltik, babi hutan diyakini sebagai reservior utama dari virus ASF.


Pada Februari 2019, untuk pertama kalinya ASF dikonfirmasi di kawasan Asia Tenggara, yaitu di Vietnam. Selanjutnya, infeksi ASF meluas hingga ke Kamboja, Laos, Filipina, Myanmar dan Timor Leste. Pada Desember 2019, terdapat tujuh negara di Asia Tenggara yang telah mengkonfirmasi adanya kasus ASF termasuk Indonesia. Kasus ASF di Indonesia diumumkan secara resmi melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019 tentang Pernyataan Wabah Penyakit Demam Babi Afrika (African Swine Fever) pada Beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Jumlah kematian babi pada wabah ini mencapai 47.559 ekor dari total 1.277.741 ekor babi di Sumatera Utara (3,7%). Virus ASF juga dikonfirmasi telah menyebar ke 21 dari 33 kabupaten di Sumatera Utara (64%). Daerah dengan populasi dan lalu lintas babi yang tinggi memiliki risiko yang tinggi pula dalam penularan virus ini. Beberapa daerah di Indonesia yang rawan menjadi daerah penularan tersebut antara lain NTT, Papua, Sulawesi Selatan, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Sulawesi Tengah dan Jawa Tengah.


Sampai saat ini, belum ditemukan vaksin yang sesuai untuk mengatasi dan mencegah penyebaran penyakit ASF. Walaupun demikian, penyebaran virus ASF dapat ditekan dengan melakukan upaya pencegahan dan pengendalian sebagai berikut:
  1. Penerapan Biosecurity dalam lingkup Peternakan. Biosecurity merupakan serangkaian kegiatan yang dirancang untuk mencegah masuk atau menyebarnya penyakit dari luar ke dalam peternakan. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui pencegahan kontak langsung antara babi yang sehat dan sakit (isolasi), kegiatan karantina babi impor sebelum disatukan dalam kandang, menjamin keamanan pakan babi, selalu menjaga sanitasi kandang dan sarang caplak, segera memusnahkan babi yang mati akibat penyakit ASF, melakukan vaksinasi untuk menjaga kesehatan babi secara teratur, membatasi orang yang masuk dalam peternakan, selalu mencuci tangan dan membersihkan alas kaki dengan desinfektan sebelum memasuki kandang serta menerapkan pengawasan yang ketat dan intensif.
  2. Pengendalian perbatasan. Pembatasan pergerakan babi hutan dan vektor alami virus ASF merupakan hal yang sulit dilakukan, salah satu cara paling efektif yang dapat dilakukan adalah dengan menutup akses dan melindungi peternakan dari satwa liar. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun pagar pembatas. Pagar ini berfungsi untuk menutup akses kontak langsung antara babi liar dengan babi domestik, menutup akses pembuangan sisa makanan, sampah dan bangkai yang terkontaminasi. Pagar pembatas dirancang dengan tinggi 1,8 meter dengan tambahan 50 cm masuk ke dalam tanah untuk mencegah terbukanya akses melalui penggalian tanah oleh babi. Cara ini mungkin saja sulit diterapkan oleh peternak skala kecil karena keterbatasan dana. Kegiatan lain seperti perburuan terkontrol, pemberian pakan tambahan bagi babi hutan, pembangunan zona kontrol, hingga penerapan biosecurity bagi pemburu mungkin saja dapat diterapkan dengan pertimbangan trade-off dari masing-masing opsi.
  3. Peningkatan kesadaran akan ancaman penyakit ASF. Peningkatan kesadaran akan pentingnya keamanan hayati sejalan dengan adanya respon cepat terhadap laporan kasus ASF merupakan suatu upaya deteksi dini terbaik mengingat sulitnya melakukan pembatasan pergerakan babi hutan. Melalui penyediaan informasi, bantuan teknis dan pelatihan, semua pemangku kepentingan dapat memahami perannya dan berkolaborasi secara lintas sektoral untuk mencegah, mengendalikan dan mengawasi penyebaran ASF di Indonesia. Melalui kolaborasi ini, laporan kasus ASF akan lebih cepat direspon. Pendampingan kepada pemburu, peternak, individu hingga akses cepat untuk berkomunikasi dengan dokter hewan dan pemangku kepentingan lain akan sangat membantu dalam penanganan kasus ini. 
Kematian babi yang mencurigakan di lapangan dapat dilaporkan oleh pemburu, pendaki, pengelola hingga masyarakat, tentunya setelah mereka diberi pelatihan mengenai gejala klinis dan bahaya ASF. Hal ini akan lebih membantu dalam penemuan kasus di daerah berisiko tinggi. Teknis pelaporan, pengambilan sampel, investigasi dan respon penanganan serta pemusnahan sampel akan menjadi lebih mudah melalui kolaborasi ini. Hal yang perlu dilakukan saat menemukan bangkai yang mencurigakan di lapangan antara lain mencatat data satwa (jumlah, umur, jenis kelamin, lokasi dan lainnya), memastikan sterilisasi alat pelindung diri,  inspeksi oleh petugas, pengambilan sampel dan investigasi wabah (dari siapa saja pemburu, tipe pengelolaan kawasan, biosecurity yang diterapkan dan populasi babi domestik di sekitar lokasi temuan).  

Sumber:
Beltrán-Alcrudo, D., Arias, M., Gallardo, C., Kramer, S. dan Penrith, M.L. 2017. African Swine Fever: Detection and Diagnosis – A Manual for Veterinarians. FAO Animal Production and Health Manual No. 19. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). Rome.
Winarso, A., Nur H. dan Siti R. 2019. Ancaman African Swine Fever Masuk ke Wilayah Indonesia melalui Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional VII Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Nusa Cendana Swiss Bel-inn Kristal. Kupang.

 Website:
disnak.nttprov.go.id
disnakkeswan.jatengprov.go.id
distanpangan.baliprov.go.id
Baca..
0
SMS
Total Jumlah SMS
0
Laporan Umum
Total Jumlah Laporan Umum
0
Laporan Khusus
Total Jumlah Laporan Khusus
Total Laporan - Bulan
Jumlah Kejadian Suspek Penyakit (Verifikasi Oleh Dokter Hewan)
Jumlah Kejadian Non Penyakit (Verifikasi Oleh Dokter Hewan)

Kontak Kami

Telp: (+62) 573 0301
Email: sehatsatli@gmail.com

Tautan

  • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
  • Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
  • Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati
  • Direktorat Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam
  • FAO ECTAD Indonesia
  • Panduan/Wiki SehatSatli

  • Didukung Oleh

    logo

     

    logo

    2017 © Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.